Senin, 16 Desember 2013

Geguritan Utawi Tembang Pupuh


 
Geguritan nika wantah sastra kuno sane maduwe ciri sastra klasik utawi kuno sane "bersifat anonim", artine nenten kauningang sira sane ngawi sastra punika. Puniki santukan daweg zaman nika sang sane ngawi nenten maduwe manah antuk "menonjolkan diri" lan karyan-karyannyane wantah gelah sareng sami.

Kruna geguritan ring Kamus Bali – Indonesia witnyane saking kruna "gurit sane mateges gubah, karang, utawi sadur"(Depdikdas Prop. Bali, 1991 :254), lan ring Kamus Umum Indonesia kategesin "geguritan punika witnyane saking kruna gurit sane mateges sajak utawi syair" (Poerwadarminta, 1986 :161). Ring Kamus Kawi Indonesia, "gurit artine goresan, dituliskan" (Tim Penyusun, 1996:118).

Ciri sane paling jelas ring geguritan wantah kawenten pupuh-pupuh sane ngawangun geguritan punika makadi : Pupuh Pucung, Durma, Sinom, Pangkur, Smarandhana, Dandang, Ginada, lan Demung. Punika mawinan ritatkala i raga ngawacen geguritan nenten pateh sakadi ngawacen karya sastra sane ngranjing ring kategori prosa.

Geguritan punika kawacen sambilang nembang. Karya sastra pupuh-pupuh puniki kaiket antuk aturan makadi : pada lingsa, pada lan carik. “syarat-syarat sane kawastanin pada lingsa inggih punika baris ring tiap bait (pada) akehne suku kata ring tiap-tiap baris (carik) lan suaran untat tiap-tiap baris” (Agastia, 1980 :17).

Antuk penjelasan-penjelasan punika, dados kaambil simpulan geguritan inggih punika ciptaan sastra sane "berbentuk" syair sane kawacen sambilang katembangin(pupuh).

GEGURITAN, WAHANA MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKAT

GEGURITAN, 
WAHANA MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKATGeguritan, sebuah karya sastra Jawa berbentuk puisi bebas, merupakan salah satu tradisi lisan yang hingga saat ini masih hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa. Geguritan biasa dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Geguritan berisi berbagai ajaran tentang kearifan lokal, baik hubungan manusia dengan Tuhan, antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Demikian antara lain, pendapat Aji Wulantara dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, salah satu pembicara dalam acara bedah buku “Arak-Arakan Geguritan “Garising Pepesthen” yang digelar oleh Ikatan Pustakawan IndonGEGURITAN, 
WAHANA MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKATesia (IPI) Kabupaten Sleman bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sleman pada Kamis (16/12) lalu di Rumah Makan Mbah Jingkrak, Jalan Kaliurang Km 10, Sleman.
Lanjut Aji, karya sastra Geguritan merupakan wahana pembelajaran yang halus untuk membentuk watak dan menumbuhkan kebajikan bagi generasi ke generasi berikutnya. Pujangga atau penyair geguritan dianggap sebagai guru sehingga dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, pada masa sekarang banyak generasi muda yang kurang mengenal geguritan, sehingga perlu dikenalkan kepada meGEGURITAN, WAHANA 
MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKATreka, baik dari sisi bahasa maupun media yang digunakan.
Sukeri, Pustakawan Perpusda Sleman yang menjadi pembicara kedua antara lain menyampaikan, bahwa sebenarnya buku geguritan ini isinya sudah bagus, sayangnya penyusunan kata pengantar kurang berurutan. Selain itu, buku ini tidak dilengkapi dengan daftar pustaka. Kaitannya dengan daftar pustaka, penulis buku, yakni R. Bambang Nursinggih menyampaikan, memang tidak ditulis, karena geguritan ini ditulis atas ide sendiri, yang tidak mengambil dari sumber lain. Buku geguritan terbitaGEGURITAN, WAHANA 
MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKATn 2010 (harga Rp 30.000/eksemplar) ini memuat sekitar 100 judul dan semuanya hasil karyanya sendiri dari beberapa tahun terakhir.
Pada acara bedah buku geguritan tersebut, tidak ketinggalan pula, penulis buku memaparkan bahwa sebenarnya buku geguritan ini adalah karya kedua yang telah dijadikan buku. Karya ini dijadikan buku agar bisa menyebar di masyarakat luas sehingga apresiasi masyarakat Jawa, terutama generasi muda terhadap apresiasi karya geguritan semakin baik. Walaupun, sebenarnya mencetak buku karya geguritan itu hanyalah idealisme belaGEGURITAN, WAHANA 
MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKATka. Sebab jika dihitung secara ekonomi, maka modal tidak akan kembali, karena peminat buku sastra sangatlah minim. Apalagi buku itu dicetak atas biaya sendiri. Demikian paparan Seniman Tari yang mulai menyenangi menulis geguritan 10 tahun silam, di hadapan 75 peserta yang sebagian besar para pustakawan dan para guru bahasa SD, SMP, SMA di wilayah Provinsi DIY itu.
Selanjutnya, ia juga mengatakan, bahwa sebenarnya buku ini juga pernah dibahas di Balai Bahasa Yogyakarta awal Agustus lalu. Geguritan-geguritan yang ditulis ini pernah beberapa kali dimuat dan disiarkan di berbagai media massa dan elektronik, GEGURITAN, 
WAHANA MEMBENTUK KARAKTER MASYARAKATseperti Djaka Lodang, Pagagan, Sempulur, Tunggak Semi, RRI Yogyakarta, BBM FM, Suwara Kenanga, Radio Kanca Tani, Jogja TV, dan RB TV. Ia menjelaskan bahwa ciri geguritannya, antara lain kalimatnya panjang-panjang dan seringkali dicantumkan kata-kata kuno, Namun begitu, kata-kata kuno itu sudah disertai maknanya di bagian bawah dari masing-masing geguritan. Masih menurut penjelasannya, geguritan-geguritan karyanya ini sering dipakai untuk pembelajaran para sastrawan pemula yang menyenangi karya sastra geguritan, karena dianggap mudah memahami isinya.
Sebuah geguritannya berjudul “Guru” juga dibacakan pada kesempatan siang hari itu dengan diiringi petikan siter sebagai bentuk penghargaan kepada para guru yang hadir menyemarakkan acara bedah buku. 


Pengertian Geguritan Jawa 

GEGURITAN
  1. Pengertian Geguritan
    Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Hal ini disebabkan pada zamanya seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama.
    Kata geguritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari kata gurit artinya ‘gubah’, ‘karang’, ‘sadur,. (Depdiknas Prop. Bali, 1991 :254). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161), sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan gurit artinya goresan, dituliskan. (Tim Penyusun, 1996:118).
    Berdasarkan pandangan di atas maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu.

    2. Cara menulis Geguritan.
    a. Mengidentifikasi beberapa pengalaman menarik yang telah dialami.
    b. Memilih salah satu pengalaman yang mengesankan sebagai bahan untuk menulis sebuah geguritan.
    c. Menentukan dan menulis pilihan kata yang tepat, indah, dan bermakna untuk dijadikan bahan dalam menulis geguritan.
    d. Menulis larik-larik geguritan berdasarkan pilihan kata yang tepat.
    e. Menyunting geguritan yang telah ditulisnya sendiri maupun yang ditulis temannya.

    3. Geguritan yang baik itu seperti apa?
    Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut seperti pupuh yang terdapat dalam tembang Macapat. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dalam membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa. Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin terasa. Penilaian geguritan yang baik yaitu ada aspek kesesuaian isi dengan judul, ada aspek keselarasan rima, ada aspek pemilihan diksi.

    4. Contoh Geguritan.

                       ELING

Para mudha…
Elinga marang agama
Agama kang dadi ageming aji
Agama kang bisa dadi gegamaning ati

Para mudha…
Elinga marang wong tua
Aja nganti tumindak durhaka
Mengko mundak mlebu neraka

Para mudha…
Elinga marang bangsa lan nagara
Aja mung padha suka-suka
Gawe maksiat sarta dosa
Nganti lali nerak marang angger-anggering agama

Elinga…
Urip iku mung sepisan
Aja nganti congkrah marang liyan
Kareben tentrem urip bebrayan


             KATRESNAN

Sukma ana tanpa raga
Ati lara tanpa upama
Sing ditresnani ilang tanpa bali
Tekaning kapan aku kudu ngenteni

Aku kangen marang sliramu
Marang tangis lan guyumu
Dhuh Gusti apa iki cobaan kanggoku
Paringana kesabaran marang aku

Dhuh gusti paringana welas-Mu
Kanggo aku lan keluwargaku
Namung kuwi panjalukku

                                                                                                             
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar