Senin, 16 Desember 2013

Makalah MUNAS IMBASADI


Description: Description: UNNES
MAKALAH
PERAN MAHASISWA SEBAGAI CALON PENDIDIK DALAM PENGEMBANG BUDAYA BANGSA DAN PENANAMAN KARAKTER SISWA DIDIK

akan disajikan dalam forum Temu Ilmiah
Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa se-Indonesia

disusun oleh

Nama
: Rahmad Hidayat
NIM
: 2601411083
Prodi          
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa





JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

PRAKATA

“Alhamdulillah wa Syukurillah, bersyukur pada-Mu ya Allah” segala puji sepanjang waktu teruntuk Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena atas curahan kasih sayang, limpahan keridhoan, akhirnya berhasillah menyelesaikan penyusunan makalah ini. Terima kasih yang terdalam, yang terbaik dan yang terikhlas kepada Allah SWT yang selalu memancarkan semangat belajar dalam jiwa hambanya dan menjawab doa-doa hambanya dengan sepenuh sifat kesempurnaannya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa yang telah membantu segala hal dan penuh keakraban serta kasih sayang, sehingga memacu semangat keberhasilan studi ini. Juga kepada Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik. Selain itu juga kepada Orang Tua yang telah memberikan dukungan moral, bantuan, kebaikan, dan keikhlasan hati. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak ditemukan beberapa kekurangan dan kelemahan, baik secara penulisan maupun substansi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini mampu memberi pencerahan bagi dunia keilmuan sastra dan manfaat yang maksimal bagi pembaca semua. Amin.



Semarang, 22 September 2013


Penulis            
BAB I
PENDAHULUAN
1.1     LATAR BELAKANG
Mahasiswa LPTK sebagai calon guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Jika kita menengok kembali tugas guru yang luar biasa dalam UU Guru dan Dosen, UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, tugas guru sangat penting. Menurut Yoesoef (1980) guru memiliki tiga tugas penting yakni tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, tugas pertama berkaitan dengan logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Ketiga tugas yang multifungsi ini saling sinergis yang mau tidak mau melekat pada jati diri seorang guru.
 Guru Bahasa, khususnya bahasa daerah juga memiliki peran penting dalam pembentukan moral dan karakter peserta didik melalui pembelajaran budaya lokal.
Melalui penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurang-kurangnya di tingkat dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda harapan daerah dan nasional, sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat bahasa daerah telah berakar kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga untuk menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari.

1.2     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.2.1     Bagaimanakah peran bahasa sebagai budaya Bangsa ?
1.2.2     Bagaimanakah peran guru bahasa dalam pengajaran budaya ?
1.2.3     Bagaimanakah pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 ?
1.2.4     Bagaimanakah peran bahasa Jawa dalam pendidikan karakter untuk peserta didik ?

1.3     TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1     Mengetahui peran bahasa sebagai budaya Bangsa
1.3.2     Mengetahui peran guru bahasa dalam pengajaran budaya
1.3.3     Mengetahui pendidikan karakter dalam kurikulum 2013
1.3.4     Mengetahui peran bahasa Jawa dalam pendidikan karakter untuk peserta didik

1.4     METODE PENULISAN
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.4.1  Metode Pustaka
Metode Pustaka yaitu metode yang digunakan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari berbagai pustaka, baik melalui buku, artikel ilmiah maupun artikel diinternet. Kemudian menghubungkan dengan tujuan penulisan makalah ini.

1.5     SISTEMATIKA PENULISAN
1.                           Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan
1.4  Metode Penulisan
1.5  Sistematika Penulisan

2.                           Pembahasan
2.1 Bahasa dan Budaya
2.1.1 Bahasa
2.1.2 Budaya
2.1.3 Bahasa dalam Budaya
2.1.4 Bahasa dan Budaya Daerah

2.2 Peran Guru Bahasa dalam Pengajaran Budaya
2.3 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
2.4 Peran Bahasa Jawa dalam upaya Pendidikan Karakter untuk Peserta Didik

3.      Penutup
3.1     Simpulan
3.2     Saran
3.3     Daftar Pustaka

BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Bahasa dan Budaya
2.1.1    Bahasa
Kridalaksana dalam Chaer (2003:32) memberikan pengertian bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Sebagai suatu sistem, bahasa sekaligus bersifat sistematis. Artinya bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak, dengan kata lain, bahasa itu bukan merupakan suatu sistem yang tunggal, tetapi dari subsistem, seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Sedangkan arbitrer yang berarti tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud lambang tersebut. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya (language in use) bahasa  merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi.
Secara umum fungsi bahasa, adalah alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam arti, alat untuk menyampaikan ide, gagasan dan pikiran manusia. Dijelaskan Nababan (1993:38), jika dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dapat dibedakan menjadi empat golongan fungsi, (1) kebudayaan, (2) kemasyarakatan, (3) perorangan, dan (4) pendidikan. Keempat fungsi tersebut berkaitan, sebab ‘perorangan’ adalah ‘anggota masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola kebudayaan yang diwariskan dan dikembangkan melalui pendidikan.

2.1.2    Budaya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Budaya (2005:169) tercantum pengertian bahwa budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat. Dari pengertian ini dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah hasil pemikiran manusia yang dilandasi cipta, rasa, dan karsa.
Hakikat budaya sangat kompleks sehingga para ahli selalu memberikan pengertian, pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Sibarani (1992:99), mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensi, normatif maupun simbolis yang tercermin dalam tingkah laku dan bendabenda hasil karya manusia.
Sementara Koentjoroningrat merumuskan kerangka kebudayaan memiliki dua aspek, yaitu (1) wujud kebudayaan yang berupa gagasan, prilaku dan kebudayaan fisik yang bersifat kongkret, (2) isi kebudayaan yang terdiri dari bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharia atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi dan sistem kesenian.

Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.

2.1.3 Bahasa dalam Budaya
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya.
Bahasa juga sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahkan dengan bahasa kita bisa mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa kata kata, pararaf dan wacana. Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita dapat mengetahu seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manusia.
Hubungan lain yang perlu diperhatikan dalam komunikasi, tata cara berbahasa harus sesuai dengan norma-norma kebudayaan. Apabila tidak sesuai dengan norma-norma  kebudayaan, tak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak beradat dan berbudaya. Menurut Nababan (1993:53) tata cara berbahasa ini mengatur, (1) apa yang sebaiknya kita katakana pada waktu dan keadaan tertentu, (2) ragam bahasa apa yang sewajarnya kita pakai dalam situasi sosiolingistik tertentu, (3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan orang lain, dan (4) kapan kita diam dan jangan berbicara.
Sebagai simbol jati diri dan budaya bangsa, bahasa harus terus dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi yang modern dalam berbagai bidang kehidupan. Bahasa daerah adalah alat yang paling tepat untuk mengungkapkan kekayaan budaya suatu suku bangsa. Perlu disadari bahwa tidak setiap aspek budaya suatu suku bangsa dapat diungkapkan secara tepat dalam bahasa lain dengan tetap mempertahankan daya, bobot, dan keindahannya.

2.1.4 Budaya dan Bahasa Daerah
Bahasa daerah adalah bahasa ibu dari sekelompok masyarakat sosial/etnik disuatu wilayah tertentu yang digunakan secara verbal dalam komunikasi sosialnya, yang didalamnya terkandung nilai-nilai, kearifan local, atau budaya dari kelompok masyarakat sebagai penutur.
Sementara itu, budaya daerah merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya daerah adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya daerah juga sering disepadankan dengan budaya lokal atau budaya etnik/ subetnik.
2.2       Peran Guru Bahasa Daerah dalam Pengajaran Budaya
Guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Jika kita menengok kembali tugas guru yang luar biasa dalam UU Guru dan Dosen, UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, tugas guru sangat penting. Menurut Yoesoef (1980) guru memiliki tiga tugas penting yakni tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, tugas pertama berkaitan dengan logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Ketiga tugas yang multifungsi ini saling sinergis yang mau tidak mau melekat pada jati diri seorang guru.
 Guru Bahasa, khususnya bahasa daerah juga memiliki peran penting dalam pembentukan moral dan karakter peserta didik melalui pembelajaran budaya lokal.
Melalui penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurang-kurangnya di tingkat dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda harapan daerah dan nasional, sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat bahasa daerah telah berakar kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga untuk menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun dalam kurikulum 2013 bahasa daerah diintegrasikan kedalam mata pelajaran seni budaya dan olahraga namun dengan adanya SK Dinas Pendidikan Jawa Tengah No. 424/13242 yang tetap mempertahkankan pembelajaran bahasa daerah  di tingkat sekolah dasar sampai menengah.  Keputusan ini senafas dengan semangat untuk melestarikan budaya nasional dan jati diri sebagai manusia yang berakar dari budaya lokalnya.  Namun, kebijakan atau aspirasi luhur apapun pada akhirnya harus mewujud menjadi praktek penerapannya di kelas. Dengan alokasi pembelajaran 2 jam seminggu, perlu dicermati apakah pembelajaran bahasa daerah akan menjadi efektif kala dipacu menghadapi “pesaing” berupa pembelajaran bahasa asing dan mata pelajaran lain yang pasti memerlukan waktu tak kalah banyaknya.  
Pembelajaran bahasa daerah harus berakar dari keyakinan bahwa bahasa sejatinya adalah bagian dari budaya, dan mencintai budaya berarti juga mau mencintai bahasanya. Maka, upaya awal yang perlu dilakukan adalah membuat para murid mengenali, memahami dan akhirnya mencintai budayanya sendiri.  Untuk mencapainya, pembelajaran bahasa bisa saja diawali bukan dengan  topik kebahasaan seperti pola kalimat atau kosa kata, namun pada kegiatan pengenalan budaya lokal. Kepada para murid bisa disajikan bentuk-bentuk kesenian atau kerajinan lokal beserta filosofi luhur yang melekat padanya.
Untuk menyelaraskan dengan gaya belajar generasi muda sekarang, penyajian tidak harus dalam bentuk pemaparan monoton satu arah, namun bisa dibuat lebih interaktif atau bahkan dengan melibatkan mereka untuk berkegiatan secara aktif. Selanjutnya, kepada mereka bisa ditunjukkan bagaimana nilai-nilai lokal itu masih akan relevan dalam kiprah mereka di masa depan sebagai insan global. 
Sepertihalnya kebudayaan lain, budaya dan bahasa Jawa memuat banyak sekali nilai-nilai moral yang dapat dijadikan bahan untuk pendidikan karakter para peserta didik. Sehingga pelajaran bahasa tidak hanya fokus pada ekspresi dan apresiasi bahasa saja namun juga memperhatikan budaya yang ada didalamnya.

2.3       Pendidikan Karakter pada Kurikulum 2013
Setelah munculnya kurikulum 2013 belakangan ini pendidikan karakter, budaya, dan moral disampaikan secara terpadu dengan seluruh pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pada hakikatnya pembelajaran memang seharusnya memperhatikan tiga aspek yaitu afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (ketrampilan). Semua guru mata pelajaran diberikan tugas tambahan untuk menganalisa semua aspek yang diajarkan dan dihubungkan dengan pendidikan karakter, budaya, dan moral. Demikian juga guru bahasa. Selain mengajar materi bahasa, guru tersebut juga mengajarkan tentang pendidikan karakter, budaya, dan moral. Contohnya peserta didik diajarkan untuk tidak melakukan penjiplakan dengan cara dididik untuk membuat kalimat sendiri sampai peserta didik paham benar bagaimana menulis dengan baik dan benar, peserta didik dididik untuk memiliki budaya datang tepat waktu, dan peserta didik dididik untuk selalu menghormati karya orang lain. Demikian juga berlaku bagi semua guru mata pelajaran yang ada di sekolah. Seperti pada tabel berikut ini :


Tabel 1. Standar Kompetensi Lulusan Kurikulum 2013 Pada Aspek Sikap
2.4       Peran Bahasa Jawa dalam Upaya Pendidikan Karakter untuk Peserta Didik
Mengingat pada beban guru untuk tidak hanya memperhatikan pengetahuan tapi juga sikap, moral dan karakter peserta didik maka ini bisa menjadikan bahasa dan budaya Jawa semakin bermakna. Pasalnya sebenarnya Jawa memiliki karya sastra yang sebenarnya relevan jika digunakan sebagai bahan pendidikan karakter disekolah. Hal ini dikarenakan kehidupan masa kini sebenarnya merupakan kelanjutan atau kesinambungan dari kehidupan masa lalu. Manusia pada masa kini membutuhkan informasi tentang masa lalu sebagai inspirasi dan pengetahuan untuk kehidupan di masa depan. Pengetahuan atau informasi tentang berbagai aspek kehidupan masa lampau itu tersimpan di dalam berbagai naskah sebagai produk budaya. Karya sastra tradisional atau naskah itu berisi buah pikiran, perasaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Di antara nilai-nilai tersebut ada yang masih relevan dipakai dalam kehidupan masa kini. Oleh karena itu, studi terhadap karya-karya sastra klasik perlu dilakukan untuk mengungkap segala informasi mengenai berbagai segi kehidupan. Salah satu karya sastra klasik yang menyimpan informasi mengenai berbagai segi kehidupan adalah Sastra Piwulang dan Sastra Suluk. Misalnya saja Serat Wulang Putri.
Berikut ajaran-ajaran dalam Serat Wulang Putri yang dapat dijadikan bahan pendidikan karakter dalam pengajaran disekolah.
1.   Sikap Narima Ing pandum,
Hal ini dapat diambil dari ajaran Serat Wulang Putri. Sikap pasrah terhadap kehendak Tuhan, menerima taknir dengan tabah dan tawakal, inilah yang terletak dalam Serat Wulang Putri (SWP) pupuh Kinanthi bait 1,10,13 yang berbunyi sebagai berikut :

Pupuh Kinanthi SWP
Terjemahan
1.dhuh nggèr putri putraningsun
nadyan wus kanthi pinasthi
marang Hyang Kang Murbèng Titah
graitaning para putri
sapra asthaning pra putra
arantananing pamikiri
1.   Wahai putriku
walaupun sudah ditentukna
oleh tuhan
bahwa kemampuan wanita
seperdelapan para pria
dalam hal pemikirannya
10. supaya was cipta ayu
yuwanèng manungku manis
ywa ngênês dulu kaanan
lêlakon dunya puniki
mung kudu sumanggèng karsa
karsa-karsaning Hyang Widhi
11. Agar waspada, selamat
selamat memohon kebaikan
jangan bersedih melihat keadaan
kehidupan di dunia ini
harus berserah diri
pada kehendak tuhan
13. satuhune sira durung
têrang lir Hyang Murbèng Pasthi
marmanggèr putra wanudya
samya sêdyaa ing ati
tata titining cumadhang
angadhang takdiring Widhi
13. Sesungguhnya engkau belum
mengerti akan tuhan
oleh sebab itu wahai anakku
setialah dalam hati
hanya tawakal
mengharap takdir Tuhan

2.      Berbakti kepada Orangtua
Selanjutnya adalah ajaran untuk berbakti dengan orang tua. Hal ini merupakan kewajiban yang harus dimiliki setiap anak sebagai sarana bakti kepada Tuhan. Kewajiban berbakti ini sebagai bukti timbale balik kita kepada kedua orang tua yang telah menyebabkan hadirnya kita didunia. Selain itu anak juga berfungsi sebagai pengikat hati antara ayah dan ibu sebagai mana yang muncul dalam ungkapan Jawa anak iku dadi ganthelaning ati. Sebagai mana yang terdapat pada Serat Wulang Putri pupuh Sinom bait 4 :
SWP pupuh Sinom bait 4
Terjemahan
4. maning sira angidhêpa
ing rama ibunta nini
têgêse sira nucèkna
iya sariranirèki
dene dènnya nglakoni
ênêng êninga ing kalbu
awas eling supaya
sirnaa nêpsunta nini
anganakna asih kalawan amurah

4. Ada lagi hendaknya engkau berbakti
kepada bapak dan ibumu wahai putriku
artinya sucikanlah
jiwamu ini
adapun cara menjalankannya
eneng eninga dihati
waspada dan ingat sadar
hilangkan napsumu
berilah kasih dari segala arah


  1. Ajaran Taat kepada Tuhan
Pentingnya agama sebagai pedoman hidup dijelaskan dengan tegas agar jangan sekali-kali melalaikannya. Agama mampu menjadikan manusia hidup mulia dan terhormat. Sehubungan dengan itu, dasar-dasar pendidikan agama diberikan sejak dini, termasuk memberikan pemahaman akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Sebagai orang Jawa, pandangan hidup hendaknya berbasis agama agar hidupnya menjadi religius. Religiusitas orang Jawa tampak dalam aktivitas kesehariannnya, seperti kegemarannnya menyelenggarakan slametan, istighosah, dan haul yang semuanya itu menunjukkan bahwa hidup dan relasi antarpenduduk dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan berkaitan erat dengan pandangan keagamaan. Seperti yang tercantum dalam pupuh Kinanthi bait 3 sebagai berikut :

SWP pupuh Kinanthi bait 3
Terjemahan
3.  Iya manungsa sangagung
luwih maning dena kardi
solah bawa narendra
tan datan sepi pambudi
gyannya agampil agama
kasuciyaning dumadi
3.      Manusia menjadi mulia
bilamana punya pekerjaan
perilaku sebagai raja
tak sepi dari kebaikan
jangan lalaikan agama
maka sucilah kamu
  1. Sikap Rendah Hati
Menanamkan rasa rendah hati dalam diri seseorang tidak kalah pentingnya dengan menanamkan nilai-nilai moral lainnya karena hal itu menyangkut kesadaran kita akan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang kita. Beban wanita sebagai keluarga keraton yang harus tampil anggun, menawan dan berakhlaqulrimah serta menjaga kewibawaan sang raja di mata masyarakat. Itu semua dapat dilakukan jika seorang putri mempunyai rasa rendah hati (isin). Dapat dibayangkan jika manusia dan terlebih wanita tidak memiliki rasa rendah hati maka sangat mungkin hidupnya menjadi nista, dan merugikan orang lain termasuk kewibawaan sang raja. Seperti yang terkandung dalam pupuh Kinanthi bait 4 sebagai berikut :

SWP pupuh Kinanthi bait 4
Terjemahan
4.  Tinindaken lawan patut
pinantes pantes tiniti
timbalan isinira
Nagara Surakarta
tan kena gelinukuhan
angkuhing ing tyas anglakoni

4.  dilakukan dengan yang layak
dan sepantasnya diperhatikan.
untuk mengetahui
negara Surakarta
tak boleh menggunjing
dan berlaku sombong

Dari beberapa contoh diatas dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya hasil kebudayaan Jawa berupa Karya Sastra Jawa Klasik menyimpan banyak ajaran/piwulang yang masih sangat relevan jika kita gunakan sebagai bahan ajar pendidikan moral dan karakter.
Hendaknya kita sebagai calon pendidik Bahasa dan Sastra Daerah dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai materi harian dalam pembelajaran bahasa didaerah Jawa khususnya. Karena kita sebagai calon pendidik nantinya selalu dituntut untuk menanamkan berbagai pendidikan karakter untuk peserta didik sebagai calon penerus bangsa.



















BAB III

3.1  SIMPULAN
Dari beberapa contoh diatas dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya hasil kebudayaan Jawa berupa Karya Sastra Jawa Klasik menyimpan banyak ajaran/piwulang yang masih sangat relevan jika kita gunakan sebagai bahan ajar pendidikan moral dan karakter.
Hendaknya kita sebagai calon pendidik Bahasa dan Sastra Daerah seharusnya dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai materi harian dalam pembelajaran bahasa didaerah Jawa khususnya. Karena kita sebagai calon pendidik nantinya selalu dituntut untuk menanamkan berbagai pendidikan karakter untuk peserta didik sebagai calon penerus bangsa.

3.2  SARAN
Maka tidak ada salahnya jika kita sebagai calon pengajar Bahasa Daerah jika nantinya juga mengajarkan budaya-budaya lokal yang ada disekitar kita, sepertihalnya mengajarkan “tembang” tidak hanya sekedar untuk melantunkannya tapi juga mempelajari makna yang terkandung didalamnya.










DAFTAR PUSTAKA
Edy Nugraha,Yusra. 2008. Senarai Puisi Jawa Klasik. Semarang : Cipta Prima Nusantara
Chaer, Abdul. 2003 Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
                           2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Hartiningsih, Sutji. 2009. Serat Wulang Reh Putri : Suntingan teks, Terjemahan dan Kajian Makna. Tesis. Semarang : Universitas Diponegoro
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Mardiwarsito, 1980. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende Flores : Nusa Indah.
Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Purwadi,M.Hum,Dr. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta : Panji Pustaka
Suseno, Franz Magnis. 1999.  Etika Jawa. Jakarta : Pustaka Utama
Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Widada, et.al. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta : Kanisius
Zoetmulder. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan
http: //www.alang-alangkumitir.wordpress.com/ diakses pada 21 September 2013 pukul 22.43
http: //www.wikipedia.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar