
MAKALAH
PERAN MAHASISWA SEBAGAI
CALON PENDIDIK DALAM PENGEMBANG BUDAYA BANGSA DAN PENANAMAN KARAKTER SISWA
DIDIK
akan disajikan dalam forum Temu Ilmiah
Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa se-Indonesia
Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa se-Indonesia
disusun oleh
Nama
|
: Rahmad Hidayat
|
NIM
|
: 2601411083
|
Prodi
|
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
|
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
PRAKATA
“Alhamdulillah wa Syukurillah,
bersyukur pada-Mu ya Allah” segala puji sepanjang
waktu teruntuk Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena atas curahan kasih
sayang, limpahan keridhoan, akhirnya berhasillah menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Terima kasih yang terdalam, yang terbaik dan yang terikhlas kepada
Allah SWT yang selalu memancarkan semangat belajar dalam jiwa hambanya dan
menjawab doa-doa hambanya dengan sepenuh sifat kesempurnaannya.
Ucapan
terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Bahasa
dan Sastra Jawa yang telah membantu segala hal dan penuh keakraban serta kasih
sayang, sehingga memacu semangat keberhasilan studi ini. Juga kepada Bapak dan
Ibu Dosen yang telah membimbing sehingga makalah ini dapat tersusun dengan
baik. Selain itu juga kepada Orang Tua yang telah memberikan dukungan moral,
bantuan, kebaikan, dan keikhlasan hati. Serta pihak-pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis
menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak ditemukan beberapa
kekurangan dan kelemahan, baik secara penulisan maupun substansi. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang nantinya dapat dijadikan sebagai
bahan evaluasi demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
mampu memberi pencerahan bagi dunia keilmuan sastra dan manfaat yang maksimal
bagi pembaca semua. Amin.
Semarang, 22 September
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Mahasiswa LPTK sebagai calon guru atau pendidik
memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran
yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Jika kita menengok kembali
tugas guru yang luar biasa dalam UU Guru
dan Dosen, UU
no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, tugas guru sangat
penting. Menurut Yoesoef (1980) guru memiliki tiga tugas penting yakni tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan
pembahasan tentang kebudayaan, tugas pertama berkaitan dengan logika dan
estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Ketiga tugas yang
multifungsi ini saling sinergis yang mau tidak mau melekat pada jati diri
seorang guru.
Guru Bahasa, khususnya bahasa daerah
juga memiliki peran penting dalam pembentukan moral dan karakter peserta didik
melalui pembelajaran budaya lokal.
Melalui penggunaan
bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurang-kurangnya di tingkat
dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda harapan daerah dan nasional,
sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan
budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat bahasa daerah telah
berakar kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa
bangga untuk menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
uraian di atas maka ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut
:
1.2.1
Bagaimanakah
peran bahasa sebagai budaya Bangsa ?
1.2.2
Bagaimanakah
peran guru bahasa dalam pengajaran budaya ?
1.2.3
Bagaimanakah
pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 ?
1.2.4
Bagaimanakah
peran bahasa Jawa dalam pendidikan karakter untuk peserta didik ?
1.3 TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang hendak
dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1
Mengetahui
peran bahasa sebagai budaya Bangsa
1.3.2
Mengetahui
peran guru bahasa dalam pengajaran budaya
1.3.3
Mengetahui
pendidikan karakter dalam kurikulum 2013
1.3.4
Mengetahui
peran bahasa Jawa dalam pendidikan karakter untuk peserta didik
1.4 METODE
PENULISAN
Adapun metode yang digunakan dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Metode Pustaka
Metode Pustaka yaitu metode yang
digunakan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari berbagai pustaka, baik
melalui buku, artikel ilmiah maupun artikel diinternet. Kemudian menghubungkan
dengan tujuan penulisan makalah ini.
1.5 SISTEMATIKA
PENULISAN
1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
2.
Pembahasan
2.1 Bahasa dan Budaya
2.1.1 Bahasa
2.1.2 Budaya
2.1.3 Bahasa dalam Budaya
2.1.4 Bahasa dan Budaya Daerah
2.2 Peran Guru
Bahasa dalam Pengajaran Budaya
2.3 Pendidikan
Karakter dalam Kurikulum 2013
2.4 Peran Bahasa
Jawa dalam upaya Pendidikan Karakter untuk Peserta Didik
3.
Penutup
3.1 Simpulan
3.2 Saran
3.3 Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bahasa dan Budaya
2.1.1 Bahasa
Kridalaksana dalam Chaer (2003:32) memberikan
pengertian bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan
mengidentifikasi diri. Sebagai suatu sistem, bahasa sekaligus bersifat
sistematis. Artinya bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara
acak, dengan kata lain, bahasa itu bukan merupakan suatu sistem yang tunggal,
tetapi dari subsistem, seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Sedangkan arbitrer yang berarti tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa
(yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud lambang
tersebut.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule
(1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari
itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya (language in
use) bahasa merupakan bagian dari
pesan dalam komunikasi.
Secara umum fungsi bahasa, adalah alat untuk berkomunikasi
dan berinteraksi dalam arti, alat untuk menyampaikan ide, gagasan dan pikiran
manusia. Dijelaskan Nababan (1993:38), jika dikaji dalam kaitannya dengan
masyarakat dapat dibedakan menjadi empat golongan fungsi, (1) kebudayaan, (2)
kemasyarakatan, (3) perorangan, dan (4) pendidikan. Keempat fungsi tersebut
berkaitan, sebab ‘perorangan’ adalah ‘anggota masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat
itu sesuai dengan pola-pola kebudayaan yang diwariskan dan dikembangkan melalui
pendidikan.
2.1.2 Budaya
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Budaya (2005:169) tercantum pengertian bahwa
budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat.
Dari pengertian ini dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah hasil pemikiran
manusia yang dilandasi cipta, rasa, dan karsa.
Hakikat
budaya sangat kompleks sehingga para ahli selalu memberikan pengertian,
pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Sibarani (1992:99),
mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan
secara sosial, baik bersifat eksistensi, normatif maupun simbolis yang
tercermin dalam tingkah laku dan benda‐benda hasil karya manusia.
Sementara Koentjoroningrat merumuskan kerangka kebudayaan
memiliki dua aspek, yaitu (1) wujud kebudayaan yang berupa gagasan, prilaku dan
kebudayaan fisik yang bersifat kongkret, (2) isi kebudayaan yang terdiri dari
bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharia atau ekonomi, organisasi sosial,
sistem pengetahuan, sistem religi dan sistem kesenian.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat
dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak
dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai
anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam
berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku
manusia.
Definisi-definisi di atas dan pendapat
para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer
yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi
yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2.
Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi
secara kemasyarakatan.
3.
Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku.
4.
Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan
dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar
hidup.
5.
Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu
sistem yang berpola teratur.
6.
Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala
sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota
suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari
kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu
berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan
antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri
dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan
sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan
budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak
ternilai dalam khasanah budaya nasional.
2.1.3 Bahasa dalam
Budaya
Ada berbagai
teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu
merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang
ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia
atau masyarakat penuturnya.
Bahasa dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa
kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit
mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi,
saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua
macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari
kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui
bahasanya (ontogenetik).
Bahasa merupakan
sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti,
dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa
pengantar kebuadayaan tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan
lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya.
Bahasa juga sering dianggap sebagai
produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa
merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah
penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai
bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu
dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat,
tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahkan dengan bahasa kita bisa
mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa
tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa
kata kata, pararaf dan wacana. Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa adalah
wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat
pemiliknya dan dari bahasa kita dapat mengetahu seberapa tinggi tingkat kebudayaan
suatu bangsa. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu
hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manusia.
Hubungan lain yang perlu diperhatikan dalam komunikasi, tata
cara berbahasa harus sesuai dengan norma-norma kebudayaan. Apabila tidak sesuai
dengan norma-norma kebudayaan, tak
jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak beradat dan
berbudaya. Menurut Nababan (1993:53) tata cara berbahasa ini mengatur, (1) apa
yang sebaiknya kita katakana pada waktu dan keadaan tertentu, (2) ragam bahasa
apa yang sewajarnya kita pakai dalam situasi sosiolingistik tertentu, (3) kapan
dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan orang
lain, dan (4) kapan kita diam dan jangan berbicara.
Sebagai simbol jati diri dan budaya bangsa, bahasa harus terus
dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi yang
modern dalam berbagai bidang kehidupan. Bahasa daerah adalah alat yang paling
tepat untuk mengungkapkan kekayaan budaya suatu suku bangsa. Perlu disadari
bahwa tidak setiap aspek budaya suatu suku bangsa dapat diungkapkan secara
tepat dalam bahasa lain dengan tetap mempertahankan daya, bobot, dan
keindahannya.
2.1.4 Budaya dan Bahasa Daerah
Bahasa daerah adalah bahasa ibu dari sekelompok masyarakat sosial/etnik
disuatu wilayah tertentu yang digunakan secara verbal dalam komunikasi
sosialnya, yang didalamnya terkandung nilai-nilai, kearifan local, atau budaya
dari kelompok masyarakat sebagai penutur.
Sementara itu, budaya daerah merupakan istilah yang biasanya
digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan
budaya global. Budaya daerah adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang
menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki
oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya
daerah juga sering disepadankan dengan budaya lokal atau budaya etnik/
subetnik.
2.2 Peran Guru
Bahasa Daerah dalam Pengajaran Budaya
Guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar
dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru
merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam
pembentukan karakter siswa. Jika kita menengok kembali tugas guru yang luar
biasa dalam UU Guru dan Dosen,
UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, tugas guru sangat
penting. Menurut Yoesoef (1980) guru memiliki tiga tugas penting yakni tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan
pembahasan tentang kebudayaan, tugas pertama berkaitan dengan logika dan
estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Ketiga tugas yang
multifungsi ini saling sinergis yang mau tidak mau melekat pada jati diri
seorang guru.
Guru Bahasa, khususnya bahasa daerah
juga memiliki peran penting dalam pembentukan moral dan karakter peserta didik
melalui pembelajaran budaya lokal.
Melalui penggunaan
bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurang-kurangnya di tingkat
dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda harapan daerah dan nasional,
sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan
budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat bahasa daerah telah
berakar kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa
bangga untuk menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun dalam kurikulum 2013 bahasa daerah
diintegrasikan kedalam mata pelajaran seni budaya dan olahraga namun dengan
adanya SK Dinas Pendidikan Jawa Tengah No. 424/13242 yang tetap mempertahkankan
pembelajaran bahasa daerah di tingkat sekolah dasar sampai
menengah. Keputusan ini senafas dengan semangat untuk melestarikan budaya
nasional dan jati diri sebagai manusia yang berakar dari budaya lokalnya.
Namun, kebijakan atau aspirasi luhur apapun pada akhirnya harus mewujud menjadi
praktek penerapannya di kelas. Dengan alokasi pembelajaran 2 jam seminggu,
perlu dicermati apakah pembelajaran bahasa daerah akan menjadi efektif kala
dipacu menghadapi “pesaing” berupa pembelajaran bahasa asing dan mata pelajaran
lain yang pasti memerlukan waktu tak kalah banyaknya.
Pembelajaran bahasa daerah harus berakar dari
keyakinan bahwa bahasa sejatinya adalah bagian dari budaya, dan mencintai
budaya berarti juga mau mencintai bahasanya. Maka, upaya awal yang perlu
dilakukan adalah membuat para murid mengenali, memahami dan akhirnya mencintai
budayanya sendiri. Untuk mencapainya, pembelajaran bahasa bisa saja
diawali bukan dengan topik kebahasaan seperti pola kalimat atau kosa
kata, namun pada kegiatan pengenalan budaya lokal. Kepada para murid bisa
disajikan bentuk-bentuk kesenian atau kerajinan lokal beserta filosofi luhur
yang melekat padanya.
Untuk menyelaraskan dengan gaya belajar generasi
muda sekarang, penyajian tidak harus dalam bentuk pemaparan monoton satu arah,
namun bisa dibuat lebih interaktif atau bahkan dengan melibatkan mereka untuk
berkegiatan secara aktif. Selanjutnya, kepada mereka bisa ditunjukkan bagaimana
nilai-nilai lokal itu masih akan relevan dalam kiprah mereka di masa depan
sebagai insan global.
Sepertihalnya kebudayaan lain, budaya dan bahasa Jawa
memuat banyak sekali nilai-nilai moral yang dapat dijadikan bahan untuk pendidikan
karakter para peserta didik. Sehingga pelajaran bahasa tidak hanya fokus pada
ekspresi dan apresiasi bahasa saja namun juga memperhatikan budaya yang ada
didalamnya.
2.3 Pendidikan Karakter pada Kurikulum 2013
Setelah
munculnya kurikulum 2013 belakangan ini pendidikan karakter, budaya, dan moral
disampaikan secara terpadu dengan seluruh pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pada
hakikatnya pembelajaran memang seharusnya memperhatikan tiga aspek yaitu
afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (ketrampilan). Semua
guru mata pelajaran diberikan tugas tambahan untuk menganalisa semua aspek yang
diajarkan dan dihubungkan dengan pendidikan karakter, budaya, dan moral.
Demikian juga guru bahasa. Selain mengajar materi bahasa, guru tersebut juga mengajarkan
tentang pendidikan karakter, budaya, dan moral. Contohnya peserta didik
diajarkan untuk tidak melakukan penjiplakan dengan cara dididik untuk membuat
kalimat sendiri sampai peserta didik paham benar bagaimana menulis dengan baik
dan benar, peserta didik dididik untuk memiliki budaya datang tepat waktu, dan
peserta didik dididik untuk selalu menghormati karya orang lain. Demikian juga
berlaku bagi semua guru mata pelajaran yang ada di sekolah. Seperti pada tabel
berikut ini :

Tabel 1. Standar Kompetensi Lulusan Kurikulum 2013 Pada Aspek Sikap
2.4 Peran Bahasa Jawa dalam Upaya Pendidikan
Karakter untuk Peserta Didik
Mengingat pada beban guru untuk tidak hanya memperhatikan
pengetahuan tapi juga sikap, moral dan karakter peserta didik maka ini bisa
menjadikan bahasa dan budaya Jawa semakin bermakna. Pasalnya sebenarnya Jawa
memiliki karya sastra yang sebenarnya relevan jika digunakan sebagai bahan
pendidikan karakter disekolah. Hal ini dikarenakan kehidupan
masa kini sebenarnya merupakan kelanjutan atau kesinambungan dari kehidupan
masa lalu. Manusia pada masa kini membutuhkan informasi tentang masa lalu
sebagai inspirasi dan pengetahuan untuk kehidupan di masa depan. Pengetahuan
atau informasi tentang berbagai aspek kehidupan masa lampau itu tersimpan di
dalam berbagai naskah sebagai produk budaya. Karya sastra tradisional atau
naskah itu berisi buah pikiran, perasaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang
berlaku pada masyarakat. Di antara nilai-nilai tersebut ada yang masih relevan
dipakai dalam kehidupan masa kini. Oleh karena itu, studi terhadap karya-karya
sastra klasik perlu dilakukan untuk mengungkap segala informasi mengenai
berbagai segi kehidupan. Salah satu karya sastra klasik yang menyimpan
informasi mengenai berbagai segi kehidupan adalah Sastra Piwulang dan Sastra
Suluk. Misalnya saja Serat Wulang Putri.
Berikut ajaran-ajaran
dalam Serat Wulang Putri yang dapat dijadikan bahan pendidikan karakter dalam
pengajaran disekolah.
1.
Sikap Narima Ing pandum,
Hal
ini dapat diambil dari ajaran Serat Wulang Putri. Sikap pasrah terhadap
kehendak Tuhan, menerima taknir dengan tabah dan tawakal, inilah yang terletak
dalam Serat Wulang Putri (SWP) pupuh Kinanthi bait 1,10,13 yang berbunyi
sebagai berikut :
Pupuh Kinanthi SWP
|
Terjemahan
|
1.dhuh nggèr putri putraningsun
nadyan wus kanthi
pinasthi
marang Hyang Kang
Murbèng Titah
graitaning para
putri
sapra asthaning pra
putra
arantananing pamikiri
|
1.
Wahai putriku
walaupun sudah
ditentukna
oleh tuhan
bahwa kemampuan
wanita
seperdelapan para
pria
dalam hal
pemikirannya
|
10. supaya
was cipta ayu
yuwanèng manungku
manis
ywa ngênês dulu
kaanan
lêlakon dunya puniki
mung kudu sumanggèng
karsa
karsa-karsaning
Hyang Widhi
|
11. Agar waspada,
selamat
selamat memohon
kebaikan
jangan bersedih
melihat keadaan
kehidupan di dunia
ini
harus berserah diri
pada kehendak tuhan
|
13. satuhune
sira durung
têrang lir Hyang
Murbèng Pasthi
marmanggèr putra
wanudya
samya sêdyaa ing ati
tata titining
cumadhang
angadhang takdiring
Widhi
|
13. Sesungguhnya
engkau belum
mengerti akan tuhan
oleh sebab itu wahai
anakku
setialah dalam hati
hanya tawakal
mengharap takdir
Tuhan
|
2.
Berbakti kepada Orangtua
Selanjutnya adalah
ajaran untuk berbakti dengan orang tua. Hal ini merupakan kewajiban yang harus
dimiliki setiap anak sebagai sarana bakti kepada Tuhan. Kewajiban berbakti ini
sebagai bukti timbale balik kita kepada kedua orang tua yang telah menyebabkan
hadirnya kita didunia. Selain itu anak juga berfungsi sebagai pengikat hati
antara ayah dan ibu sebagai mana yang muncul dalam ungkapan Jawa anak iku dadi ganthelaning ati. Sebagai
mana yang terdapat pada Serat Wulang Putri pupuh Sinom bait 4 :
SWP pupuh Sinom bait
4
|
Terjemahan
|
4. maning sira angidhêpa
ing rama ibunta nini
têgêse sira nucèkna
iya sariranirèki
dene dènnya nglakoni
ênêng êninga ing
kalbu
awas eling supaya
sirnaa nêpsunta nini
anganakna asih
kalawan amurah
|
4. Ada lagi
hendaknya engkau berbakti
kepada bapak dan
ibumu wahai putriku
artinya sucikanlah
jiwamu ini
adapun cara
menjalankannya
eneng eninga dihati
waspada dan ingat
sadar
hilangkan napsumu
berilah kasih dari
segala arah
|
- Ajaran Taat kepada Tuhan
Pentingnya
agama sebagai pedoman hidup dijelaskan dengan tegas agar jangan sekali-kali
melalaikannya. Agama mampu menjadikan manusia hidup mulia dan terhormat. Sehubungan
dengan itu, dasar-dasar pendidikan agama diberikan sejak dini, termasuk
memberikan pemahaman akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Sebagai orang Jawa,
pandangan hidup hendaknya berbasis agama agar hidupnya menjadi religius.
Religiusitas orang Jawa tampak dalam aktivitas kesehariannnya, seperti
kegemarannnya menyelenggarakan slametan, istighosah, dan haul
yang semuanya itu menunjukkan bahwa hidup dan relasi antarpenduduk dalam bidang
ekonomi, politik, dan kebudayaan berkaitan erat dengan pandangan keagamaan.
Seperti yang tercantum dalam pupuh Kinanthi bait 3 sebagai berikut :
SWP pupuh Kinanthi
bait 3
|
Terjemahan
|
3. Iya manungsa sangagung
luwih maning dena kardi
solah bawa narendra
tan datan sepi pambudi
gyannya agampil agama
kasuciyaning dumadi
|
3.
Manusia
menjadi mulia
bilamana punya pekerjaan
perilaku sebagai raja
tak sepi dari kebaikan
jangan lalaikan agama
maka sucilah kamu
|
- Sikap Rendah Hati
Menanamkan
rasa rendah hati dalam diri seseorang tidak kalah pentingnya dengan menanamkan
nilai-nilai moral lainnya karena hal itu menyangkut kesadaran kita akan orang
lain dan apa yang mereka pikirkan tentang kita. Beban wanita sebagai keluarga
keraton yang harus tampil anggun, menawan dan berakhlaqulrimah serta menjaga
kewibawaan sang raja di mata masyarakat. Itu semua dapat dilakukan jika seorang
putri mempunyai rasa rendah hati (isin). Dapat dibayangkan jika manusia
dan terlebih wanita tidak memiliki rasa rendah hati maka sangat mungkin
hidupnya menjadi nista, dan merugikan orang lain termasuk kewibawaan sang raja.
Seperti yang terkandung dalam pupuh Kinanthi bait 4 sebagai berikut :
SWP pupuh Kinanthi
bait 4
|
Terjemahan
|
4. Tinindaken lawan patut
pinantes pantes
tiniti
timbalan isinira
Nagara Surakarta
tan kena gelinukuhan
angkuhing ing tyas
anglakoni
|
4. dilakukan dengan yang layak
dan sepantasnya
diperhatikan.
untuk mengetahui
negara Surakarta
tak boleh menggunjing
dan berlaku sombong
|
Dari beberapa contoh
diatas dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya hasil kebudayaan Jawa berupa Karya
Sastra Jawa Klasik menyimpan banyak ajaran/piwulang yang masih sangat relevan
jika kita gunakan sebagai bahan ajar pendidikan moral dan karakter.
Hendaknya kita sebagai calon pendidik Bahasa dan Sastra Daerah dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai materi harian dalam pembelajaran bahasa didaerah Jawa khususnya. Karena kita sebagai calon pendidik nantinya selalu dituntut untuk menanamkan berbagai pendidikan karakter untuk peserta didik sebagai calon penerus bangsa.
Hendaknya kita sebagai calon pendidik Bahasa dan Sastra Daerah dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai materi harian dalam pembelajaran bahasa didaerah Jawa khususnya. Karena kita sebagai calon pendidik nantinya selalu dituntut untuk menanamkan berbagai pendidikan karakter untuk peserta didik sebagai calon penerus bangsa.
BAB III
3.1 SIMPULAN
Dari beberapa contoh
diatas dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya hasil kebudayaan Jawa berupa Karya
Sastra Jawa Klasik menyimpan banyak ajaran/piwulang yang masih sangat relevan
jika kita gunakan sebagai bahan ajar pendidikan moral dan karakter.
Hendaknya kita sebagai calon pendidik Bahasa dan Sastra Daerah seharusnya dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai materi harian dalam pembelajaran bahasa didaerah Jawa khususnya. Karena kita sebagai calon pendidik nantinya selalu dituntut untuk menanamkan berbagai pendidikan karakter untuk peserta didik sebagai calon penerus bangsa.
Hendaknya kita sebagai calon pendidik Bahasa dan Sastra Daerah seharusnya dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai materi harian dalam pembelajaran bahasa didaerah Jawa khususnya. Karena kita sebagai calon pendidik nantinya selalu dituntut untuk menanamkan berbagai pendidikan karakter untuk peserta didik sebagai calon penerus bangsa.
3.2 SARAN
Maka tidak ada salahnya
jika kita sebagai calon pengajar Bahasa Daerah jika nantinya juga mengajarkan
budaya-budaya lokal yang ada disekitar kita, sepertihalnya mengajarkan “tembang” tidak hanya sekedar untuk
melantunkannya tapi juga mempelajari makna yang terkandung didalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Edy Nugraha,Yusra. 2008. Senarai Puisi Jawa Klasik. Semarang :
Cipta Prima Nusantara
Chaer,
Abdul. 2003 Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Hartiningsih,
Sutji. 2009. Serat Wulang Reh Putri : Suntingan teks, Terjemahan dan Kajian Makna. Tesis. Semarang : Universitas Diponegoro
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Mardiwarsito,
1980. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende Flores : Nusa Indah.
Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik
Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Purwadi,M.Hum,Dr. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta : Panji Pustaka
Suseno,
Franz Magnis. 1999. Etika Jawa. Jakarta
: Pustaka Utama
Teeuw,A.
1988. Sastra dan Ilmu Sastra:Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya
Widada,
et.al. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta
: Kanisius
Zoetmulder.
1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan
http:
//www.alang-alangkumitir.wordpress.com/ diakses pada 21 September 2013 pukul
22.43
http: //www.wikipedia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar